Bukan
hal yang aneh kalau memasuki babak pertama dalam level up kehidupan mengalami
hal-hal diluar nalar. Awalnya senang selalu bisa jadi berubah jadi sedih yang
gak berujung, itulah kenapa mama selalu bilang “senang dan sedih sekenanya aja,
jangan berlarut-larut”. Menjadi perempuan yang tumbuh besar tanpa sentuhan
secara emosional oleh ayah menurutku jadi mimpi buruk yang mau gak mau harus
aku terima dengan segala konsekuensinya.
Mengemis
pada lelaki yang salah, merasa rendah diri ketika tidak berpasangan, menjadi
samsak tinju bagi laki-laki yang salah juga bukan hal yang aneh lagi bagiku. Tapi
hal itu gak selamanya menjadi alasanku untuk
selalu menyalahkan kenapa ayah tidak pernah ada dalam tumbuh kembangku.
Kenapa teman-teman lain bisa memiliki keluarga yang baik, supportive, punya
ayah yang selalu siap sedia menjadi sandaran pertama ketika putri kecilnya yang
beranjak dewasa ini mulai terluka oleh orang lain sedangkan aku tidak?
Pertanyaan
demi-pertanyaan selalu muncul dibenakku setiap hari tanpa berehnti. Kenapa?
Kenapa? Kenapa? Ahh sampai sekarang usiaku menginjak 22 tahun pun aku gak tau
jawabannya. Tumbuh dewasa tanpa sosok ayah itu benar-benar kutukan buatku. Tapi
bener-bener ngga ada pilihan lain selain terima ini semua dengan lapang dada.